Powered by Blogger.
RSS

Selendang Doa

Jul 15, 2013 10:35 AM


Selendang Doa ..

Pagi ini, tiba-tiba saja ribuan air mengepung bumi, memenuhi bumi. Lumpur dimana-mana, matahari terik bersinar, namun kepungan air bah itu tak juga mau surut. 

Manusia berkalung tanah lumpur dimana-mana, air terus saja meninggi. Semua berkumpul, semua sakit, masih saja ada yang tak sanggup sadar, tak sanggup memahami apa yang terjadi. 

Terus saja perselingkuhan itu terjadi, adu mulut itu terjadi, saling rampas itu terjadi. Berebut menempelkan stiker berlabel "milik pribadi". Apakah yang masih tetap menjadi pribadi selain "kesadaran?"

Apakah yang masih layak diperebutkan ditengah pusaran air seperti itu? Ditengah cahaya yang saling  berebut menyambar-nyambar dan menyakitkan mata? Cahaya yang bagaikan dua pedang beradu kesaktian diatas langit, meriah sempurna benderangnya namun menyiutkan nyali, mengiris jantung menjadi debaran-debaran kecil yang tak punya arti. Hanyut terbawa pusaran air.

Masih saja manusia berebut. Tak malu. Tak malu berebut pertolongan. 

Ampuni kami Tuhan. Duh, Eyang Gajah Mada, tapa brata-mu selama hidup masih tak sanggup meyentuh kami, anak-cucumu yang malang ini.  Daya bathin-mu yang tanpa tanding masih bias kami tekuni diantara silau cahaya layar-layar monitor yang semu.

Derita ibunda ratu Dyah Pitaloka mengelilingi jaman berganti abad demi menjaga kelangsungan semesta, masih belum menggerakkan hati kami untuk mengaca padamu. 

Diajeng Dyah Rengganis, ketelanjanganmu di Puncak Argopuro, masih belum sanggup menyentuh rasa 'ketelanjangan' kami yang hakiki, selain syahwat yang terus menggebu melihatmu. Magis gerak tubuhmu menghadap Tuhan semesta, hanya sanggup kami pahami dalam gerak-gerak liar birahi penuh dosa.

Paduka Prabu Siliwangi, petilasanmu masih tak sanggup kami temukan, meski Uga Wangsit-mu terus juga menjaga kami. Kami adalah anak-cucu yang durhaka, yang tak mengerti lingkaran-lingkaran garis penjagaan dan keselamatan yang engkau berikan. Meski engkau menganugerahkan pada kami sebuah rumah bambu berdinding gedhek yang tak hanyut oleh pusaran air. Dalam bayangan maut yang tetap kau sambut dengan senyum, "lebak cawene" masih kau titipkan pada kami agar kami bisa selamat. Dan masih saja kami menjadi anak-cucumu yang bebal tiada ampun. 

Ampuni kami Tuhan. Ampuni kami para eyang sepuh Ranggawarsita, Jayabaya, Sinuhun. Kami mengaku hidup bergelimang teknologi dan bertumpuk kemajuan, tapi kami masih tak sanggup membaca semua 'tulisanmu' dalam kitab-kitab kuno itu. Dalam helaian lontar abadi, dalam selarik batik indah mengembang, tak pudar sepanjang jaman. Tak sanggup membaca untaian huruf yang terpahat kokoh pada dinding setiap candi. Kami tak sanggup menghayati kekuatan ruas-ruas bambu menyangga hidup dan menyimpannya dalam keabadian semesta. Kami tak sanggup berolah rasa dan gerak dalam tarian sukma yang sungguh sangat agung itu. 

Jiwa pikir dan hati kami terlepas dari tali-tali sukma sejarah. Gamang terombang-ambing tanpa pegangan.  Melayang bagai kapas tak jelas arah. Sedih dan pilu hati, meronta, menggapai-gapai rerimbunan pohon sukma. 

Tinggal kini kami meratap, memohon. Ditengah segala pertikaian tanpa ujung. Ditengah kemilau mahkota kosong yang begitu menggiurkan ...


Kami layak dihukum ....

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Menikah ...


kidung suci menuai hari
bahagia insani rajuti benang-benang
peristiwa mengemban kasih
mendedahkan madah suci
sang empunya hidup
.....



rona hati terpaut janji
rekah bahagia tertangkup
doa hampari langkah purwa
asali manusia

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS